Selasa, 27 Desember 2011

KEWENANGAN JAKSA PENYELIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN NEGERI BENGKULU

KEWENANGAN JAKSA PENYELIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN NEGERI BENGKULU


Oleh
Andhika P. Sandhy*, Elektison Somi** dan M. Abdi**
*Mahasiswa Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
**Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Abstract: The background of this research originated from the lack of authority possessed by the attorney as the investigator at the investigation level of Corruption. Research carried out an empirical legal research. The results of this study: 1) The Attorney Investigator tasks undertaken by virtue of warrant judicial intelligence operations. Investigation carried out in an open and closed. An open investigation carried out openly. Closed investigation conducted by hidden manner. 2) The obstacles faced by the Attorney Investigator are the main elements of information cannot provide data well, the fear of people who questioned for to testify to get information, the difficulty in collecting data and less maximum support undercover techniques in the investigation. 3) The efforts of the Attorney Investigator to overcome the barriers that they faced are doing a persuasive approach, purchasing data, raising people who have a fear if they give information needed by the investigator, accelerating the investigation so that the case could enter the next stage.

Key words: investigation, open investigation, Closed investigation, Attorney Investigator, Attorney


I. PENDAHULUAN
Pemberantasan tindak pidana korupsi tentunya tidak terlepas dari upaya aparat Penegak Hukum dalam melakukan upaya penegakan hukum di bidang tindak pidana Korupsi. Salah satu lembaga yang diberikan kewenangan dalam melakukan penegakan hukum dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Lembaga Kejaksaan RI. Dalam Pasal 39 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Dalam Pasal ini dimaksudkan Jaksa Agung yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan melakukan penuntutan serta melakukan eksekusi terhadap putusan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI yang menyebutkan dalam Pasal 30 Ayat 1 Huruf d yang menyebutkan dibidang pidana Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Selain itu pengaturan kewenangan lembaga Kejaksaan untuk menangani tindak pidana korupsi terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 disebutkan bahwa penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 Ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 merupakan suatu tindak pidana yang dikategorikan kedalam tindak pidana khusus. Sehingga terhadap tindak pidana khusus, Kejaksaan RI memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan. Akan tetapi untuk tindak pidana umum, Kejaksaan RI tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan.
Proses paling awal dalam penanganan tindak pidana korupsi yakni dimulai dari proses penyelidikan. Undang- Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 Butir 5 menyebutkan bahwa “Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh Undang-Undang ini”
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik pernyataan bahwa kegiatan penyelidikan adalah merupakan bagian awal dari kegiatan penyidikan, artinya penyelidikan bukan merupakan bagian yang terpisahkan dari fungsi penyidikan. Penyelidikan berfungsi untuk mengumpulkan bukti-bukti permulaan .
Sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi maka Kejaksaan berwenang untuk mengadakan penyelidikan dan penyidikan. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) butir a KUHAP, penyelidik memiliki wewenang yakni :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
2. Mencari keterangan dan barang bukti
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam penjelasan KUHAP yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat :
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan
c. Tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatanya
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa
e. Menghormati Hak-Hak Asasi Manusia.

Peran Jaksa Penyelidik dalam melakukan penyelidikan terhadap informasi adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi sangat besar. Jaksa penyelidik sebagai pencari informasi awal dalam menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi dituntut untuk dapat menjalankan fungsi intelijen dalam menemukan dugaan tindak pidana korupsi. Tugas yang diemban oleh Jaksa Penyelidik yakni mengumpulkan data serta bahan bahan keterangan yang mendukung telah terjadinya tindak pidana korupsi.
Permasalahan yang sering timbul sejalan kurangnya kewenangan Jaksa Penyelidik dikarenakan pada tahap penyelidikan yang dilakukan bersifat mengumpulkan bahan keterangan dan mengumpulkan bahan data. Hamabatan-hambatan yang sering dijumpai oleh Jaksa Penyelidik adalah kurangnya kewenangan Jaksa Penyelidik yang ditentukan dalam Undang-Undang. Keterbatasan kewenangan inilah yang sering kali dijadikan alasan oleh orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi untuk tidak memberikan bahan data ataupun bahan keterangan untuk menunjang peroses penyelidikan. Sehingga keterbatasan kewenangan Jaksa Penyelidik dalam proses penyelidikan menuntut Jaksa Penyelidik untuk dapat berinovasi dan berinprovisasi dalam melakukan penyelidikan guna menemukan indikasi tindak pidana Korupsi.
Peran Kejaksaan Negeri Bengkulu dalam Penegakan Hukum khususnya mengenai Tindak Pidana Korupsi di Kota Bengkulu dapat di lihat dari banyaknya para pejabat-pejabat di Kota Bengkulu yang berhasil di dituntut di Pengadilan Negeri Bengkulu serta diantaranya bahkan telah berhasil dimasukkan ke dalam penjara. Salah satu contoh adalah kasus DPRD Kota Bengkulu periode 1999-2004 yang berdasarkan putusan Mahkamah Agung menghukum penjara ke-30 anggota DPRD Kota Bengkulu periode 1999-2004.
Keberhasilan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa perlu dipertanyakan. Hal ini dikarenakan banyaknya temuan dari BPK yang berhasil di ekspose media akan tetapi sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya. Sebagai contoh adalah pekerjaan Hotmik Jalan di dinas PU Kota Bengkulu , Perjanjian BIM yang bermasalah , Temuan BPKP terhadap dinas-dinas di Kota Bengkulu , Pungutan liar di Badan Kepegawaian Kota Bengkulu , PBB BIM yang menunggak dan masih banyak yang lainnya .
Banyaknya informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi menuntut peran Kejaksaan Negeri Bengkulu dalam melakukan penegakan hukum di Kota Bengkulu. Informasi yang menyebar di masyarakat melalui media cetak maupun media elektronik tentunya dapat dijadikan informasi awal sebagai upaya dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di Kota Bengkulu.
Berdasarkan uraian latar belakan masalah, maka permasalahan yang diajukan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah Kewenangan Jaksa Penyelidik dalam Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Bengkulu. (2) Hambatan apa saja yang dihadapi Jaksa Penyelidik dalam Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Bengkulu. (3)Upaya apa saja yang dapat di lakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi Jaksa Penyelidik dalam Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Bengkulu

II. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum yang bersifat empiris. Penelitian hukum empiris atau yang dengan istilah lain biasa digunakan adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat pula disebut dengan penelitian lapangan. Dalam penelitian ini peneliti bertitik tolak dari data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui wawancara. Wilayah penelitian adalah tempat dimana penelitian dilaksanakan atau tempat dimana seseorang melaksanakan penelitian. Adapun lokasi penelitian ini adalah Kejaksaan Negeri Bengkulu. Alasan penulis melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri Bengkulu Disebabkan karena Kejaksaan Negeri Bengkulu sebagai salah satu aparat penegak hukum yang dapat melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Kota Bengkulu, dimana proses penyelidikan, penyidikan serta penuntutan dilakukan atau dilaksanakan dalam satu instansi yakni Kejaksaan Negeri Bengkulu.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara terarah yaitu wawancara kepada:
1. Kasi Intelijen dan 2 (dua) orang Jaksa Penyelidik pada Kejaksaan Negeri Bengkulu.
2. Kasi Pidana Khusus dan 2 (dua) orang Jaksa Penyidik pada Kejaksaan Negeri Bengkulu.
3. Kabid Investigasi pada Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bengkulu.
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis data dilakukan bertujuan untuk menyederhanakan hasil olahan data sehingga mudah dibaca dan dipahami. Analisis data secara kualitatif dilakukan dengan cara menguji data dengan konsep atau teori serta jawaban yang diperoleh dari responden untuk menghasilkan data atau informasi dalam mencapai keselarasan tentang pokok masalah mengenai peranan lembaga Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi.


III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kewenangan Jaksa Penyelidik Dalam Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak menyebutkan kewenangan pada tingkat penyelidikan. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) butir a KUHAP, penyelidik memiliki wewenang yakni :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
2. Mencari keterangan dan barang bukti
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat :
• Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
• Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan
• Tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatanya
• Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa
• Menghormati Hak-Hak Asasi Manusia.

Bobby MP. Panjaitan, Oktalian Darmawan dan Arief Wirawan menjelaskan bahwa penyelidikan Tindak Pidana Korupsi diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan di bidang intelijen yang bertujuan untuk mendapatkan bahan keterangan dan bahan data guna menemukan adanya suatu indikasi atau dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi terhadap suatu informasi yang didapat. Lebih lanjut Bobby MP. Panjaitan menjelaskan bahwa informasi adanya suatu tindak pidana korupsi dapat di diperoleh dari 2 sumber yakni dari laporan dan dari pengaduan.
Kewenangan penyelidik hanya diatur didalam KUHAP sedangkan didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak disebutkan secara tegas kewenangan penyelidikan. Sehingga apabila melihat kewenangan yang dimiliki penyelidikan di dalam KUHAP, Jaksa Penyelidik Tindak Pidana Korupsi hanya dapat melakukan tindakan pengumpulan data dan bahan keterangan tanpa adanya kewenangan berupa pemaksaan ataupun penyitaan.
Jaksa Penyelidik melaksanakan operasi penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Operasi Intelijen Yustisial (IN.1) yang ditanda tangani oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu.
Berdasarkan wawancara dengan Bobby MP. Panjaitan diketahui Penyelidikan dilakuakan dengan 4 (empat) tahap yakni perencanaan pengumpulan, pengolahan dan penggunaan produk. Perencanaan penyelidikan dimulai dari laporan ataupun pengaduan yang diterima Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Bengkulu sampai dengan terbitnya Surat Perintah Operasi Intelijen Yustisial (IN.1). Tahap Pengumpulan dimulai sejak terbitnya Surat Perintah Operasi Intelijen Yustisial (IN.1) sampai dengan selesainya tahap pengumpulan bahan keterangan
Pengumpulan data dan bahan keterangan yang dilakukan oleh Jaksa Penyelidik sebagaimana petunjuk dalam Surat Perintah Operasi Intelijen Yustisial (IN.1) tidak mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki Jaksa Penyelidik. Sehingga Pengumpulan data dan bahan keterangan yang dilakukan oleh Jaksa Penyelidik lebih pada pengumpulan yang bersifat pendukung data dan keterangan untuk dipergunakan dalam tingkat penyidikan. Hal ini sejalan dengan fungsi penyelidikan yang tak terpisahkan dari fungsi penyidikan.
Keterbatasan kewenangan yang ada menjadikan Jaksa Penyelidik dalam melakukan penyelidikan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang operasi penyelidikan. Kegiatan-kegiatan yang menunjang Jaksa Penyelidik dalam menunjang pelaksanaan tugasnya adalah dengan melakukan “pendekatan personal”. “Pendekatan personal” umumnya mulai dilakukan kepada orang-orang yang termasuk dalam second line kemudian setelah informasi didapat dari orang orang yang termasuk second line petugas pelaksana mencari informasi kepada orang orang utama atau first line. Maksud dan tujuan mengumpulkan informasi dari orang-orang second line adalah sebagai bentuk penggalangan kekuatan yang nantinya dapat diperlukan apabila terdapat serangan atau reaksi dari orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Pengumpulan Bahan Keterangan selain dengan Penyelidikan terbuka (wawancara terbuka) biasanya juga dilakukan dengan Penyelidikan tertutup (wawancara tertutup) dengan menggunakan metode undercover atau penyamaran dan dengan melakukan pembelian terhadap data yang diperlukan. Undercover dilakukan untuk keperluan Penyelidikan yang tidak mungkin dapat dengan cara-cara terbuka atau dikarenakan orang yang akan dimintakan data atau keterangan tidak bersedia memberikan keterangan ataupun data. Oleh sebab itu perlu dilakukan penyamaran, menyusup kedalam sasaran guna memperoleh bahan keterangan.
Penyelidikan tertutup yang dilakukan adalah dengan tehnik percakapan kepada orang yang dituju (target), akan tetapi seluruh pembicaraan ataupun data direkam melalui media. Media yang dimaksud dalam hal ini contohnya adalah camera tersembunyi yang berbentuk pena, dasi, topi, kancing ataupun gantungan kunci. Untuk dapat melakukan penyelidikan tertutup biasanya jaksa penyelidik tidak dapat langsung turun tangan. Hal ini dikarenakan Jaksa Penyelidik cukup dikenal oleh masyarakat terutama oleh kalangan pemerintahan dan kontraktor. Sehingga Jaksa Penyeliik menggunakan agen intelijen untuk mendapatkan data ataupun laporan yang dimaksud. Agen intelijen biasanya adalah orang yang cukup dikenal oleh Jaksa Penyelidik.
Tahp selanjutnya adalah tahap pengolahan. Tahap pengolahan dimulai dari Matrik Hasil Operasi Intelijen Yustisial (L.IN.8) sampai dengan Laporan Intelijen Khusus (L.IN.3). dan Tahap yang terakhir adalah tahap penggunaan. Tahap penggunaan dimulai dari diserahkannya hasil penyelidikan dari Seksi Intelijen kepada Seksi Tindak Pidana Khusus.

2. Hambatan-Hambatan yang dihadapi Jaksa Penyelidik dalam Tindak Pidana Korupsi
Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Jaksa Penyelidik antara lain yakni :
a. Orang-orang yang termasuk dalam unsur unsur utama keterangan kurang dapat memberikan data. Dalam hambatan ini kurang dapatnya Unsur-unsur utama Keterangan (UUK) untuk memberikan data dikarenakan orang-orang tersebut tidak berada dalam lingkup tugas yang memiliki kewenangan untuk memberikan data yang diminta. Sehingga dalam melakukan penyelidikan data yang diminta tidak dapat secara lengkap di perlihatkan kepada Jaksa Penyelidik.
b. Adanya ketakutan dari orang-orang yang dimintai keterangan untuk untuk memberikan keterangan dikarenakan adanya adanya intervensi dari pimpinan suatu instansi terhadap orang yang memberikan data. Intervensi pimpinan dalam hal ini sangatlah besar peranannya, dimana umumnya Jaksa Penyelidik melakukan pengumpulan data awal dari orang-orang yang berada di second line yang lebih banyak memberikan bahan keterangan tanpa disertai dengan bahan data yang mendukung.
c. Adanya manipulasi data ataupun laporan. Manipulasi data ataupun laporan mungkin dilakukan, hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang terorganisir dan sistematis, yang tidak hanya melibatkan salah satu pihak.
d. Adanya kesulitan dalam mengumpulkan data pendukung. Kesulitan mnecari data pendukung sangat erat kaitannya dengan keberanian dari orang-orang yang memiliki kekuasaan terhadap data tersebut untuk memberikan data.
e. Kurang maksimalnya tehnik undercover dalam melakukan penyelidikan. Kurang maksimalnya tehnik undercover yang dilakukan dikarenakan aparat intelijen yang dimiliki oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu sangatlah terbatas, dimana aparat intelijen telah lebih dahulu diketahui oleh pihak lawan, sehingga walaupun menggunakan tehnik undercover akan tetap dapat terdeteksi. Hal ini berbeda dengan Intelijen Polri dan TNI dimana adanya pembagian tugas antara aparat intelijen yang mengolah administrasi dengan aparat intelijen yang melakukan pengumpulan data di lapangan (agen intelijen)

3. Upaya untuk mengatasi hambatan yang dihadapi Jaksa Penyelidik dalam Tindak Pidana Korupsi
Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan yang dilakukan orang-orang yang termasuk dalam unsur unsur utama keterangan kurang dapat memberikan data Jaksa Penyelidik biasanya melakukan pendekatan persuasif, pendekatan persuasif ini dilakukan dengan cara pendekatan keluarga ataupun pendekatan yang bersifat non formal. Selanjutnya melakukan penggalangan terhadap orang-orang tersebut dengan memberikan pemahaman mengenai perlindungan saksi sampai dengan tahap penuntutan, sehingga identitas orang yang memberikan keterangan sampai dengan tingkat penuntutan dirahasiakan. Melakukan percepatan peningkatan ke tahap penyidikan. Melakukan pembelian terhadap data, menggunakan tehnik-tehnik propaganda serta melakukan upaya penyusupan agen-agen intelijen diluar tim penyelidik.


IV. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Kewenangan Jaksa Penyelidik dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Operasi Intelijen Yustisial (IN.1). Tidak diaturnya secara tegas kewenangan Jaksa dalam bidang penyelidikan menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan tugas Jaksa Penyelidik. Penyelidikan dilaksanakan dengan cara melakukan pengumpulan data (Puldata) dan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket). Penyelidikan dilakukan secara terbuka dan tertutup. Penyelidikan terbuka dilakukan secara terang-terangan dimana orang yang dimintai data ataupun bahan keterangan mengetahui apabila sedang dilakukan penyelidikan. Penyelidikan terbuka dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kepada seseorang yang diketahui bahwa orang tersebut mengetahui sesuatu hal yang menjadi fokus penyelidikan. Sedangkan penyelidikan tertutup dilakukan dengan cara tersembunyi dimana orang yang sedang dimintakan data ataupun keterangan tidak mengetahui apabila sedang dilakukan pemeriksaan. Penyelidikan tertutup dapat dilakukan dengan cara pendekatan personal, undercover (penyamaran), surveillance serta propaganda.
b. Hambatan-Hambatan yang dihadapi Jaksa Penyelidik dalam melaksanakan tugas penyelidikan dalam menemukan indikasi tindak pidana Korupsi yakni orang-orang yang termasuk dalam unsur unsur utama keterangan kurang dapat memberikan data, adanya ketakutan dari orang-orang yang dimintai keterangan untuk untuk memberikan keterangan dikarenakan adanya adanya intervensi dari pimpinan suatu instansi terhadap orang yang memberikan data, adanya manipulasi data ataupun laporan, adanya kesulitan dalam mengumpulkan data pendukung dan kurang maksimalnya tehnik undercover dalam melakukan penyelidikan.
c. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi adalah dengan melakukan pendekatan persuasif, melakukan pembelian data, melakukan penggalangan terhadap orang-orang yang memiliki ketakutan terhadap keterangan yang akan diberikan, kemudian melakukan percepatan penyelidikan segera meningkatkan perkara ke tahap penyidikan, agar dokumen-dokumen yang didapat dapat dilakukan penyitaan, menggunakan tahnik propaganda dan penggalangan terhadap orang-orang yang termasuk “barisan sakit hati”.

2. Saran
Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penelitian ini, serta hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik suatu saran sebagai berikut :
a. Peningkatan kualitas Jaksa Penyelidik dilakukan dengan menetapkan skala prioritas terhadap Jaksa yang berada di bidang Intelijen untuk mengikuti Kursus Dasar Intelijen (Susar Intel) dan Wira Intelijen.
b. Perlunya dipertimbangkan jejak rekam(track record) dalam profile assesment untuk pegawai-pegawai yang berada di bidang Intelijen khususnya untuk Jaksa-Jaksa Penyelidik..
c. Pembagian kerja bidang penyelidikan dengan memisahkan antara agen intelijen yang melakukan penyelidikan tertutup dan agen intelijen (Jaksa penyelidik) yang melakukan penyelidikan terbuka.
d. Perlu adanya specifed career management atau menejemen karir yang lebih khusus. Specifed career management dimaksudkan untuk mengarahkan seorang Jaksa yang memiliki keahlian di bidang Intelijen untuk dapat tetap berkarir di bidang intelijen.
e. Perlu adanya aturan yang tegas mengenai kewenangan penyelidikan tindak pidana korupsi. Kewenangan tersebut sekurang-kurangnya adalah penyitaan dan kewenangan penyadapan dalam tingkat penyelidikan.

DAFTAR PUSTAKA



BPKP. 1999. Strategi Pemberantasan Korupsi. Jakarta: BPKP.

Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Penerbit Alumni.

Depdikbud RI, 1992, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka:

Fuad Noeh, Munawar. 1997. Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. Jakarta: Zikrul Hakim

Garner, Bryan A. 2004. “Black’s Law Dictionary”’ Eight edition, Thomson Business West.

Gunawan. Ilham. 1990. Postur Korupsi di Indonesia : Tinjauan Yuridis, Sosiologis, Budaya dan Politik. Bandung : Angkasa.

Hamzah, Andi. 2002. Pemberantasan Korupsi ditinjau dari Hukum Pidana, Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti.

_____________. 2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukukm Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Harahap, Yahya. 2000. Permasalahan Dan Pembahasan Penerapan KUHAP edisi 1. Jakarta: Sinar Garfika.

Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Klitgaard, Robert. 1998. Memberantas Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lopa, Baharuddin, 2002. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum Cet.II. Jakarta: Kompas

Lubis, Mochtar. 1995. Bunga Rampai Korupsi. Jakarta: LP3ES.

Moleong., Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung.PT.Remaja Rosdakarya.
Saptomo, Ade. 2009. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni.. Universitas Trisakti.Jakarta

Seno Adji, Indriyanto.2009. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Penerbit Diadit Media.

Seno Adji, Oemar. 1981, Herziening Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik. Jakarta. Erlangga

Soewartotjo, Juniadi. 1992. Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya. Jakarta; Restu Agung.

Sumitro, Hanitijo Rony. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Semarang

Sutarto, Suryono. 2004. Hukum Acara Pidana Jilid I. Semarang: Universitas Diponegoro.

Tuanakotta, Theodorus.M. 2009. Menghitung Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Diktat Kursus Dasar Intelijen Yustisial Kejaksaan RI Tahun 2000.
Bahan ajar Tindak Pidana Korupsi diklat Pendidikan & Pelatihan Pembentukan Jaksa Tahun 2008.

Bahan ajar Tindak Pidana Korupsi diklat Pendidikan & Pelatihan Pembentukan Jaksa Tahun 2009.






BIODATA PENULIS


DATA PRIBADI
N a m a : ANDHIKA PRIMA SANDHY, SH
Tempat Tanggal Lahir : Bandar Lampung, 01 Juni 1985
Agama : Islam
Status : Belum Kawin
Pendidikan S1 : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2003
Pendidikan S2 : Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, 2009
Alamat : Jl. Sumpah Pemuda No.10 Muara Enim Sumatra Selatan
Telepon / HP : 081804204848
E – mail : Andhika.Psandhy@yahoo.com


RIWAYAT PENDIDIKAN
1991 – 1993 : SD Xaverius IX Palembang
1993 – 1997 : SD Kartika II.5 Bandar Lampung
1997 – 1998 : SMP Negeri 2 Bandar Lampung
1998 – 2000 : SLTP Negeri 1 Muara Enim
2000 – 2001 : SMU Negeri 1 Muara Enim
2001 – 2003 : SMU Negeri 1 Bandar Lampung
2003 – 2008 : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (S1)
2009 – 2011 : Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (S2)


RIWAYAT PEKERJAAN
1. Staf Tata Usaha Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Bengkulu (2009 – 2010)
2. Staf Tata Usaha Seksi Tindak Pidana Umum Negeri Bengkulu (2010)
3. Siswa Pendidikan Pelatihan Pembentukan Jaksa Tahun 2011 (Januari 2011 – sekarang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar